Masih segar dalam ingatan kaum muslimin tatkala Rasulullah bersabda, "Aku bermimpi dalam tidur memegang segelas susu. Ku minum hampir habis susu itu sampai rasa kenyang menyelusup di kuku-kukuku. Lalu sisanya ku berikan kepada Umar bin Khathab. "Waktu seorang sahabat bertanya, "Apa takwilnya, ya Rasulullah?" Nabi menjawab, "Ilmu."
Nyatanya, semasa memegang jawatan khalifah, Umar bin Khathab terkenal kekerasan dan ketegasannya. Akan tetapi, ilmunya menerangi semua ruang hidupnya sehingga, dalam memutuskan suatu perkara, yang diikutinya adalah kecerdasan pemikirannya, bukan sentuhan perasaannya. Selaku penguasa ia tidak terpengaruh oleh kemarahannya, kesedihannya, atau kepentingan pribadi dan keluarganya.
Ia pernah berkata, "Membatalkan hukuman dengan diam-diam, bagiku lebih baik daripada melaksanakan hukuman dengan diam-diam." Sebab, membatalkan hukuman biasanya dilandasi oleh kebijaksanaan dan ampunan, sedangkan menjatuhkan hukuman biasanya lantaran benci dan balas dendam. Apalagi jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Seorang ayah pada suatu saat datang kepada Umar dan mengadu, "Anak perempuanku, wahai Amirul Mukminin, pernah terjerumus kedalam dosa besar. Ia patah hati, lantas mengambil pisau dan mengerat lehernya sendiri. Untung aku mengetahuinya. Anak itu ku selamatkan, lukanya ku rawat dengan cermat hingga segar-bugar kembali."
Umar merungut. "Hmmm, mujur anak engkau itu. Bunuh diri adalah tanda kekufuran. Dia harus bertaubat."
Ayah itu menjawab, "Memang itulah yang dikerjakannya sesudah itu. Dia menyesal, dan bertaubat dengan sungguh-sungguh. Sekarang dia dipinang seorang pemuda untuk jadi isterinya. Apakah dosa itu harus ku ceritakan kepada calon suaminya, wahai Amirul Mukminin?"
Umar berucap lantang, "Apakah engkau bermaksud membongkar aib yang sengaja telah ditutupi oleh Allah takdir-Nya? Demi Allah, seandainya kau lakukan hal itu, akan ku hukum engkau sedemikian rupa di depan masyarakat sehingga menjadi contoh pahit bagi yang lain. Tidak, jangan kau ungkap kembali cacat yang sudah terhapus itu. Nikahkanlah puteri engkau sebagaimana layaknya seorang perempuan terhormat dan muslimat yang taat."
Umar tidak ingin aib dan cacat orang lain dibesar-besarkan. Sebab, terhadap orang bersalah, yang diharapkan adalah memperbaiki, bukan merosakkannya ke dalam kejahatan yang lebih besar. Kepada mereka yang telah selesai menjalani masa hukumannya, seharusnya masyarakat memberi kesempatan untuk menebus dosanya di masa lalu, bukan membencinya sehingga terpaksa mereka terperangkap ke dalam keburukan kembali.
Wednesday, July 8, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment